MUSLIMAT NU

Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 merupakan organisasi yang pada mulanya hanya beranggotakan kaum laki-laki. Melihat fenomena ini Ny. Djunaisih sebagai perintis organisasi Muslimat NU memiliki gagasan bahwa, “Dalam agama Islam tidak hanya laki-laki saja yang harus dididik berkenaan dengan ilmu agama melainkan perempuan juga harus dan wajib mendapat didikan yang selaras dengan tuntutan dan kehendak agama Islam” (Afif 11). Gagasan tersebut disampaikan dalam pidatonya dalam Kongres NU ke-13 di Menes Banten tahun 1938 yang menjadi cikal bakal lahirnya Muslimat NU (Ma’shum dan Ali Zawawi 110). Meskipun gerakan yang diprakarsai ini sarat dengan pengaruh tradisi dan budaya patriarki namun kaum perempuan pada masa itu berhasil bangkit dan menyuarakan pentingnya perempuan berorganisasi dan berperan aktif tidak hanya di wilayah domestik.

Dalam momentum yang sama hadir pula Ny. Siti Syarah sebagai pembicara kedua yang turut mendukung pendapat Ny.Djunaisih dalam isi pidatonya. Sehingga, kedua tokoh tersebut memiliki peran besar terhadap berdirinya Muslimat NU pada rentang waktu 1938-1952 yang sampai sekarang  menjadi salah satu badan otonom dalam tubuh organisasi NU. Organisasi Muslimat NU  kemudian memprakarsai lahirnya Fatayat NU sebagai organisasi pemudi Islam yang keduanya memiliki hubungan seperti saudara kakak dan adik dengan segala suka dan duka persaudaraan.

Tampilnya kedua perempuan dalam acara Kongres NU ke-13 di Menes, Banten ini didukung oleh keputusan fatwa Bahtsul Masa’il ad-Diniyah pada tahun 1935, bahwa seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah laki-laki lain itu haram hukumnya, kecuali jika bisa “sunyi” (terhindar) dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz). Hal ini karena suara perempuan tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashhah. Keputusan tersebut berdasarkan landasan dari kitab Ittihaf al-saddah al-Muttaqin, Syarah al-Sittin, al Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah (Asrori & Muntaha 157).

Muslimat NU pada mulanya bernama NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) yang kemudian menyelenggarakan rapat umum NOM pada Kongres NU ke-14 tahun 1939 di Magelang. Pada kesempatan ini dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Inti dari pidato yang disampaikan oleh perempuan-perempuan NU tersebut adalah diperlukan adanya pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan, karena mereka memegang peran penting dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan membentuk organisasi perempuan di dalam Organisasi Islam Tradisional tersebut (Aboebakar 615).

Selanjutnya pada Kongres NU ke-15 tahun 1940 di Surabaya diadakan rapat tertutup yang dipimpin oleh Ny. Djunaisih dan Siti Hasanah sebagai penulisnya. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan: pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940 (Zuhri 44-45). Rekam jejak perjalanan ini belum selesai karena pada Kongres NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 disahkan secara resmi lahirnya NOM dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) sebagai organisasi perempuan di bawah naungan NU. Diterimanya NOM oleh PBNU ini tidak terlepas dari dukungan sebagian tokoh NU yang saat itu memiliki pemikiran bahwa sudah sampai pada tahap diperlukannya kehadiran perempuan dalam perjuangan dan organisasi, agar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai paham keagamaan NU dapat diterima merata antara laki-laki dan perempuan (Afif 27).

Kemudian pada kongres NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NUM menjadi badan otonom NU dan mengubah namanya menjadi Muslimat NU yang dikenal secara luas sampai saat ini (Zuhri 81). Muslimat NU merupakan organisasi yang berasas Islam dan berideologi menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Latar belakang terbentuknya Muslimat NU ini tidak terlepas dari keadaan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik masyarakat dalam menempatkan perempuan pada posisi yang serba tidak menguntungkan pada saat itu. Kedua tokoh perempuan progresif  Ny. Djunaisih dan Ny. Siti Syarah inilah yang kemudian memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar  memiliki kesempatan berpendidikan yang sama seperti laki-laki pada umumnya. Kaum perempuan  tidak hanya terjebak dalam kesibukan-kesibukan pekerjaan domestik tetapi juga secara alamiah mereka memiliki ruang untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat yang dimiliki di ranah yang lebih luas yakni publik.

Demi mewujudkan organisasi Muslimat NU sering sekali terjadi perdebatan yang alot diantara tokoh-tokoh NU (Natsir 22). Pasalnya ciri khas organisasi NU memang dikenal dengan ketradisionalannya yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi pada masa itu masih cukup dominan pandangan yang berlaku pada sebagian tokoh NU, khususnya para ulama yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan syar’i(Ma’sum & Zawawi 70). Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan  Muslimat NU benar-benar tidak singkat. Beberapa kiai yang telah dahulu memahami kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan seperti K.H Muhammad Dahlan yang memiliki andil besar mendukung kelahiran Muslimat NU memulai perannya sebagai seorang laki-laki yang turut memperjuangkan hak perempuan. Hal ini dibuktikan dengan dukungan terhadap istri Ny. Chadijah Dahlan menjadi ketua pertama pada NUM. Begitu juga dengan K.H Wahid Hasyim yang mendukung istrinya untuk berorganisasi dan mendapat jabatan kepengurusan di Muslimat NU.

Istilah konco wingking yang tersemat pada kaum perempuan saat itu justru menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan akses yang sama untuk aktif dalam kegiatan di luar rumah. Mereka hanya diarahkan berfokus pada kegiatan-kegiatan monoton setiap harinya sebagai ibu yang dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, membersihkan rumah, mengurus suami. Satu sisi kebanyakan kaum perempuan memang  merasa nyaman dengan posisi sesuai konsep ‘ibuisme’ yang diterapkan oleh rezim Suharto ini. Mereka secara terang-terangan tidak menyadari bahwa hal demikian justru akan membawa banyak kemunduran jika tidak diimbangi dengan proses belajar secara terus-menerus untuk mengembangkan keilmuan yang telah mereka miliki (Dahlan 21).

Sebagai akibatnya, kaum perempuan pada saat itu memang sangat menggantungkan segala aspek kehidupannya pada kaum laki-laki. Dalam menentukan suara pun kaum perempuan tidak memperoleh  hak untuk berpendapat meskipun di dalam rumah sendiri. Semua keputusan hanya berhak diputuskan oleh kepala keluarga, suami yang memegang hak penuh dalam menentukan urusan-urusan berkeluarga. Apakah suami dalam hal ini termasuk dalam kategori amanahatau tidak hal ini menjadi urusan nomor sekian, karena pada dasarnya istri akan selalu ditempatkan mengikuti suami dari belakang istilah dalam bahasa Jawa: suwargo nunut neroko katut. Ironis, bagaimana bisa kaum perempuan akan berkembang lebih mandiri jika mereka terkungkung dalam budaya patriarki yang justru mereka anggap sebagai hal yang menyenangkan karena merasa  hidupnya sudah ‘ditanggung’ sepenuhnya oleh kaum laki-laki.

Selain itu, dalam aspek mendapatkan hak berpendidikan kaum perempuan tidak diprioritaskan. Apalagi jika memang mereka terlahir dan besar dalam keluarga menengah ke bawah. Bisa dipastikan bahwa anak laki-laki akan mendapatkan lebih banyak dukungan mendapatkan kesempatan berpendidikan karena dianggap lebih mampu dalam mengenyam pendidikan baik formal maupaun nonformal. Mereka diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan sedangkan akses kaum perempuan dipangkas begitu saja untuk dikondisikan menjadi orang rumahan yang tidak tahu dunia luar. Kehidupan kaum perempuan hanya sebatas dapur, kasur dan sumur. Dalam sejarahnya, pesantren yang pertama kali menerima santri-santri perempuan adalah Mamba’ul Ma’arif di Denanyar Jombang pada tahun 1921 yang sebelumnya hanya menerima santri-santri laki-laki pada tahun 1917 dan menyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki (Muafiah 2).

Keadaan-keadaan perempuan seperti ini kemudian juga diperparah dengan beberapa hal pelik yang dialami oleh kaum perempuan. Pernikahan R.A Kartini anak dari seorang bangsawan Bupati Rembang dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia dipaksa kawin dengan suami yang telah beristri dan dilarang melanjutkan sekolahnya ke Belanda (Muhadjir Darwin 284).  Dalam sumber literasi lain Sukarno pada karyanya Sarinah ‘mendewi tololkan’ istrinya sebagai mutiara yang selalu ditolong sampai mati dan tidak pernah menjadi akil baligh (Sukarno 9). Kompleksitas masalah yang dialami kaum perempuan tidak hanya dirasakan oleh kaum menengah ke bawah. Dua tokoh tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan yang sangat tidak bisa terbebas dari kontrol dan kekuasaan laki-laki dalam segala aspek kehidupan mereka meskipun mereka hidup di keluarga bangsawan.

Selain alasan-alasan dalam bidang sosial dan ekonomi yang mengonstruksi pola pikir masyarakat terhadap kaum perempuan, faktor kondisi politik saat itu sangat menghantui pergerakan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan adanya  pengaruh hegemoni kepentingan Orba dalam hal menyambut pesta perpolitikan tahun 1955 arah pejuangan rakyat Indonesia saat itu mengalami perubahan bentuk perjuangan pada pembentukan organisasi. Mereka menggunakan bentuk organisasi-organisasi untuk bergerak secara masif melalui basis massa. Kondisi ini disetujui dengan munculnya organisasi Muslimat NU yang  juga memiliki peran dalam mendukung “Resolusi  Jihad” yang digalakkan NU sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan RI untuk menopang perpolitikan NU sendiri.

Kondisi perempuan dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) telah termanifestasi dalam pergerakan perempuan yang diwadahi oleh Muslimat NU. Sepanjang proses kelahiran organisasi ini telah menunjukkan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dalam masyarakat telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah perjuangan kaum perempuan. Apalagi dalam proses mewujudkan badan otonom Muslimat NU dalam organisasi NU tidak semerta-merta hanya terdapat campur tangan kaum perempuan. Namun, peran para kiai yang menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan hendaknya memang akan terwujud dengan kerjasama diantara kedua belah  pihak baik laki-laki maupun perempuan.